Dua Pasang Hati
A
A
A
Ia sungguh tak menyangka, bagaimana bisa gadis selembut dan sebaik Feli mengkhianati cintanya? Padahal dulu, ia begitu sayang dan mencintai Feli dengan tulus, bahkan melukainya saja ia tak berani.
Ia berusaha menjaga hati Feli bak emas yang tak ternilai harganya. Kepala Keenan terasa berat dan badannya mulai panas, amarahnya saat ini mulai naik. Hanya saja ia tak mungkin menunjukkannya, karena tahu ada Tatiana yang sedang tertidur pulas. Dengan gusar dan tanpa menoleh pada Feli, pria itu bangkit dari kursinya hendak meninggalkan Feli. ”Nan, kamu mau kemana, Nan?” Keenan sama sekali menghiraukan pertanyaan Feli.
”Nan, tunggu!” Feli menahan lengan Keenan. Pria itu sempat menghentikan langkahnya, menatap mata Feli datar. ”Nan, sekarang kamu udah tahu kan siapa yang mencintai kamu dengan sungguh-sungguh?” Cowok itu tak menjawab. Ia menyambar kunci mobilnya dan segera meninggalkan apartemen Feli. Sembilan Belas ”Kemaren malem kenapa lo nggak ada di rumah?” tanya Keenan, pagi itu ketika Gavin baru saja menginjakkan kaki di ruang tamunya.
”Ke rumah temen, main,” jawab Gavin, tentu saja ia berbohong. Tetapi si kaku nan dingin itu, tak puas dengan jawaban adiknya. Dengan pandangan dingin ia masih saja mencecar Gavin. ”Temen siapa? Selama lo disini, gue belum liat ada temen yang lo kenalin ke gue.” Gavin menoleh kesal padanya, ”Apa selama ini gue pernah minta lo kenalin temen-temen lo ke gue? Nggak pernah, kan? Kenapa sekarang lo jadi bawel banget sih, Kak?”
”Nggak usah banyak nanya. Jawab aja pertanyaan gue, lo ke rumah siapa?” ”Udah gue bilang, gue ke rumah temen,” jawab Gavin tertahan. Keenan menutup korannya, mendelik tajam lagi pada Gavin. ”Lo ke rumah Lara. Iya kan?” Gavin diam seribu bahasa. Diam-diam ia berpikir, bagaimana sang kakak tahu dia berada di rumah Lara? Percuma dia berkilat pada kakaknya, biar diam seperti itu, Keenan sepertinya punya banyak mata-mata. ”Kenapa diam?”
Gavin meletakkan tasnya dengan kasar di meja tamu, ”Iya. Gue ke rumah Lara! Gue pacarnya, gue punya hak buat nemenin dia!” Keenan mengepalkan tangannya, marah. Kalau tidak ingat Gavin adik bungsunya, dia pasti sudah melayangkan tonjokan pada cowok itu. ”Gue udah bilang ya, Vin. Gue nggak setuju lo pacaran sama dia!” Suara Keenan mulai meninggi. Gavin terpancing emosi, ia menarik kerah abangnya.
Matanya berkilat-kilat marah, ”Lara bahagia sama gue, Kak. Lo tau, kemaren dia...” Sebuah tonjokan dari Keenan melayang di pipi Gavin. Mbok Nah yang pagi itu sedang asyik membereskan bekas sarapan keduanya terkejut saat tahu kedua kakak beradik itu, lagi-lagi perang mulut. ”Eyalaaah, Mas Gavin! Mas Keenan! Aduh, kok berantem lagi sih...!” rungut Mbok Nah yang mendapati Gavin memegangi pipinya yang membiru.
Nafas Keenan tak selancar sebelumnya, dadanya begitu sesak, begitu mendengar pengakuan adiknya. Tangannya gemetar hebat, tak percaya, akhirnya ia memukul adiknya dengan tangannya sendiri. Gavin tak mengalah, ia bangkit berdiri hendak menonjok kakaknya, namun ia menahannya, tiba-tiba sekelebat bayangan wajah sedih Lara mampu melemahkan tenaganya untuk menonjok sang kakak.
”Bilang sama gue, pengecut! Bilang sama gue kalo cinta sama LARA!” Gavin berteriak di telinga Keenan. Dada Gavin bergemuruh marah, sulit baginya untuk mengatur nafasnya yang mulai tercekat karena kakaknya masih bungkam dengan perasaannya sendiri. ”Masalah gue cinta Lara atau nggak, itu bukan urusan lo. Gue tegasin sekali lagi, gue cuma nggak mau lo patah hati karena dia,” ujar Keenan tertahan, ia memalingkan tatapan matanya ke arah lain.
”Kak, dengerin gue. Kalopun lo cinta sama Lara, inget satu hal. Gue nggak akan pernah nyerah buat dia. Gue nggak masalah gue patah hati karena Lara, dan gue yakin, Lara juga cinta dan sayang sama gue. Ngerti?” desis Gavin tajam. Keenan tak menjawabnya, hatinya pun ikut bergemuruh marah, mencoba melawan pertahanan hatinya yang mulai runtuh karena gadis itu. Ia menghembuskan nafasnya panjang, menyatukan kembali pikirannya sebelum ia bersiap ke rumah sakit untuk bekerja. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
Ia berusaha menjaga hati Feli bak emas yang tak ternilai harganya. Kepala Keenan terasa berat dan badannya mulai panas, amarahnya saat ini mulai naik. Hanya saja ia tak mungkin menunjukkannya, karena tahu ada Tatiana yang sedang tertidur pulas. Dengan gusar dan tanpa menoleh pada Feli, pria itu bangkit dari kursinya hendak meninggalkan Feli. ”Nan, kamu mau kemana, Nan?” Keenan sama sekali menghiraukan pertanyaan Feli.
”Nan, tunggu!” Feli menahan lengan Keenan. Pria itu sempat menghentikan langkahnya, menatap mata Feli datar. ”Nan, sekarang kamu udah tahu kan siapa yang mencintai kamu dengan sungguh-sungguh?” Cowok itu tak menjawab. Ia menyambar kunci mobilnya dan segera meninggalkan apartemen Feli. Sembilan Belas ”Kemaren malem kenapa lo nggak ada di rumah?” tanya Keenan, pagi itu ketika Gavin baru saja menginjakkan kaki di ruang tamunya.
”Ke rumah temen, main,” jawab Gavin, tentu saja ia berbohong. Tetapi si kaku nan dingin itu, tak puas dengan jawaban adiknya. Dengan pandangan dingin ia masih saja mencecar Gavin. ”Temen siapa? Selama lo disini, gue belum liat ada temen yang lo kenalin ke gue.” Gavin menoleh kesal padanya, ”Apa selama ini gue pernah minta lo kenalin temen-temen lo ke gue? Nggak pernah, kan? Kenapa sekarang lo jadi bawel banget sih, Kak?”
”Nggak usah banyak nanya. Jawab aja pertanyaan gue, lo ke rumah siapa?” ”Udah gue bilang, gue ke rumah temen,” jawab Gavin tertahan. Keenan menutup korannya, mendelik tajam lagi pada Gavin. ”Lo ke rumah Lara. Iya kan?” Gavin diam seribu bahasa. Diam-diam ia berpikir, bagaimana sang kakak tahu dia berada di rumah Lara? Percuma dia berkilat pada kakaknya, biar diam seperti itu, Keenan sepertinya punya banyak mata-mata. ”Kenapa diam?”
Gavin meletakkan tasnya dengan kasar di meja tamu, ”Iya. Gue ke rumah Lara! Gue pacarnya, gue punya hak buat nemenin dia!” Keenan mengepalkan tangannya, marah. Kalau tidak ingat Gavin adik bungsunya, dia pasti sudah melayangkan tonjokan pada cowok itu. ”Gue udah bilang ya, Vin. Gue nggak setuju lo pacaran sama dia!” Suara Keenan mulai meninggi. Gavin terpancing emosi, ia menarik kerah abangnya.
Matanya berkilat-kilat marah, ”Lara bahagia sama gue, Kak. Lo tau, kemaren dia...” Sebuah tonjokan dari Keenan melayang di pipi Gavin. Mbok Nah yang pagi itu sedang asyik membereskan bekas sarapan keduanya terkejut saat tahu kedua kakak beradik itu, lagi-lagi perang mulut. ”Eyalaaah, Mas Gavin! Mas Keenan! Aduh, kok berantem lagi sih...!” rungut Mbok Nah yang mendapati Gavin memegangi pipinya yang membiru.
Nafas Keenan tak selancar sebelumnya, dadanya begitu sesak, begitu mendengar pengakuan adiknya. Tangannya gemetar hebat, tak percaya, akhirnya ia memukul adiknya dengan tangannya sendiri. Gavin tak mengalah, ia bangkit berdiri hendak menonjok kakaknya, namun ia menahannya, tiba-tiba sekelebat bayangan wajah sedih Lara mampu melemahkan tenaganya untuk menonjok sang kakak.
”Bilang sama gue, pengecut! Bilang sama gue kalo cinta sama LARA!” Gavin berteriak di telinga Keenan. Dada Gavin bergemuruh marah, sulit baginya untuk mengatur nafasnya yang mulai tercekat karena kakaknya masih bungkam dengan perasaannya sendiri. ”Masalah gue cinta Lara atau nggak, itu bukan urusan lo. Gue tegasin sekali lagi, gue cuma nggak mau lo patah hati karena dia,” ujar Keenan tertahan, ia memalingkan tatapan matanya ke arah lain.
”Kak, dengerin gue. Kalopun lo cinta sama Lara, inget satu hal. Gue nggak akan pernah nyerah buat dia. Gue nggak masalah gue patah hati karena Lara, dan gue yakin, Lara juga cinta dan sayang sama gue. Ngerti?” desis Gavin tajam. Keenan tak menjawabnya, hatinya pun ikut bergemuruh marah, mencoba melawan pertahanan hatinya yang mulai runtuh karena gadis itu. Ia menghembuskan nafasnya panjang, menyatukan kembali pikirannya sebelum ia bersiap ke rumah sakit untuk bekerja. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
(bbg)